MAKALAH SEJARAH
MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE DAN ABDURRAHMAN WAHID
Disusun oleh:
1.
Donansar
Kalimanto (02)
2.
Mariana
Ramelan (06)
3.
Sarif
Purnama (10)
4.
Dwi
Hananto (14)
|
|
Kelas XII IPA 5
SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 WATES
KULON PROGO
YOGYAKARTA
2012/201
MASA
PEMERINTAHAN B. J HABIBIE
A. Proses Pengalihan Kepala Pemerintahan
dari Soeharto ke B.J. Habibie
Berawal dari
dampak krisis ekonomi di tahun 1997 yang melanda Kawasan Asia dan berdampak
sangat luas bagi perekonomian di Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot
tajam pada bulan Juli 1997.Sebagai dampaknya hampir semua perusahaan modern di
Indonesia bangkrut, yang diikuti PHK pekerja-pekerjanya, sehingga angka
pengangguran menjadi meningkat. Krisis sektor moneter, terutama melalui
penutupan beberapa bank yang mengalami kredit bermasalah dan krisis likuiditas,
sehingga perbankan nasional menjadi berantakan. Hal inilah yang memunculkan krisis
kepercayaan dari investor, serta pelarian modal ke luar negeri. Selain itu, kenaikan
angka kemiskinan yang melonjak pesat,mahalnya biaya medis.Didorong oleh kondisi
yang makin parah, pada bulan Oktober 1997 pemerintah meminta bantuan IMF
(International Monetary Fund) untuk memperkuat sektor finansial, pengetatan
kebijakan viskal dan penyesuaian struktural perbankan. Tetapi IMF-lah yang membuat
pekonomian Indonesia lebih parah selama krisis. Kebijakan-kebijakan yang dibuat
untuk mengatasi krisis yang dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak mampu
memulihkan perekonomian sehingga muncul krisis kepercayaan.
Banyaknya permasalahan
besar memunculkan banyak tuntutan agar Presiden Soeharto turun dari jabatan.
Puncaknya tuntutan terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Kampus Trisakti yang
dikenal dengan Insiden Trisakti. Situasi ini membuat Soeharto memutuskan
untuk berhenti karena desakan masyarakat yang menuntut beliau mundur sangatlah
besar dan secara politik dukungan sudah tidak ada. Pada tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta, Presiden
Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI, lewat pidatonya
dihadapan wartawan dalam dan luar negeri. Setelah itu,Wapres B.J. Habi bie langsung diangkat sumpahnya menjadi
Presiden RI ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh
Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR.
Naiknya B.J.
Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI ketiga mengundang perdebatan
hukum dan kontroversial, karena Mantan Presiden Soeharto menyerahkan secara
sepihak kekuasaan kepada Habibie. Dikalangan mahasiswa sikap atas pelantikan Habibie
sebagai presiden terbagi atas tiga kelompok, yaitu:
pertama, menolak
Habibie karena merupakan produk Orde Baru;
kedua, bersikap
netral karena pada saat itu tidak ada pemimpin negara yang diterima semua
kalangan sementara jabatan presiden tidak boleh kosong;
ketiga, mahasiswa
berpendapat bahwa pengalihan kekuasaan ke Habibie adalah sah dan
konstitusional.
B.
Kebijakan-Kebijakan Pada Masa Pemerintahan B.J. Habibie
di Era Reformasi
Tanggal 22 Mei
1998 Habibie meningkatkan legitimasinya yaitu dengan mengumumkan susunan
kabinet baru yaitu Kabinet Reformasi
Pembangunan (berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122 / M
Tahun 1998) di Istana Merdeka. Dengan Keputusan Presiden tersebut, Presiden Habibie
memberhentikan dengan hormat para Menteri Negara pada Kabinet Pembangunan VII.
Kabinet Reformasi Pembangunan ini terdiri dari 36 Menteri yaitu 4 Menteri
Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang
memimpin Departemen, 12 Menteri Negara yang bertugas menangani bidang tertentu.
Sebanyak 20 Menteri diantaranya adalah muka lama dari Kabinet Pembangunan VII,
dan hanya 16 Menteri baru. Kabinet ini mencerminkan suatu sinergi dari semua
unsur-unsur kekuatan bangsa yang terdiri dari berbagai unsur kekuatan sosial
politik dalam masyarakat. Jabatan Gubernur Bank Indonesia tidak lagi dimasukkan
di dalam susunan Kabinet,karena Bank Indonesia harus mempunyai kedudukan yang
khusus dalam perekonomian, bebas dari pengaruh pemerintah dan pihak manapun
berdasarkan Undang-Undang.Pada tanggal 23 Mei 1998 pagi, Presiden Habibie
melantik menteri-menteri Kabinet Reformasi Pembangunan. Presiden Habibie
mengatakan bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan disusun untuk melaksanakan tugas
pokok reformasi total terhadap kehidupan ekonomi, politik dan hukum
Kebijakan-kebijakan pada masa
pemerintahan Presiden B.J. Habibie
1.
Pada bidang politik
a.
Pembebasan Tahanan Politik
Tindakan
pembebasan tahanan politik meningkatkan legitimasi Habibie baik di dalam maupun
di luar negeri. Hal ini terlihat dengan diberikannya amnesti dan abolisi
yang merupakan langkah penting menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Diantara
yang dibebaskan tahanan politik kaum separatis dan tokoh-tokoh tua mantan
PKI, yang telah ditahan lebih dari 30
tahun. Amnesti diberikan kepada Mohammad Sanusi dan orang-orang lain
yang ditahan setelah Insiden Tanjung Priok. Selain tokoh itu tokoh aktivis
petisi 50 (kelompok yang sebagian besar terdiri dari mantan jendral yang
menuduh Soeharto melanggar perinsip Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI). Dr Sri
Bintang Pamungkas, ketua Partai PUDI dan Dr Mochatar Pakpahan ketua Serikat
Buruh Sejahtera Indonesia dan K. H Abdurrahman Wahid merupakan segelintir dari
tokoh-tokoh yang dibebaskan Habibie. Selain itu Habibie mencabut Undang-Undang
Subversi dan menyatakan mendukung budaya oposisi serta melakukan pendekatan
kepada mereka yang selama ini menentang Orde Baru.
b.
Kebebasan Pers
Pemerintah memberikan kebebasan bagi
pers di dalam pemberitaannya, sehingga semasa pemerintahan Habibie ini, banyak
sekali bermunculan media massa. Kebebasan pers ini dilengkapi pula oleh
kebebasan berasosiasi organisasi pers sehingga organisasi alternatif seperti
AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) dapat melakukan kegiatannya. Cara Habibie
memberikan kebebasan pada Pers adalah dengan mencabut SIUPP.
c.
Pembentukan Parpol dan Percepatan pemilu dari tahun 2003
ke tahun 1999
Perubahan
dibidang politik diantaranya mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai
Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang MPR
dan DPR.
Setelah reformasi Pemilihan Umum
dilaksanakan bahkan menjelang Pemilu 1999, Partai Politik yang terdaftar
mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi
sebanyak 98 partai, namun yang memenuhi syarat mengikuti Pemilu hanya 48 Parpol.
Pada tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan Pemilihan Umum Multipartai, yang
hasilnya disahkan pada tanggal 3 Agustus 1999, 10 Partai Politik terbesar
pemenang Pemilu di DPR, adalah:
1)
Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan(PDI-P) pimpinan
Megawati meraih 153 kursi
2)
Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung meraih 120 kursi
3)
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Hamzah Haz
meraih 58 Kursi
4)
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan H. Matori Abdul
Djalil meraih 51 kursi
5)
Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amein Rais meraih
34 Kursi
6)
Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra
meraih 13 kursi
7)
Partai Keadilan (PK) pimpinan Nurmahmudi Ismail meraih 7
kursi
8)
Partai Damai Kasih Bangsa (PDKB) pimpinan Manase Malo
meraih 5 Kursi
9)
Partai Nahdlatur Ummat pimpinan Sjukron Ma’mun meraih 5
kursi
10)
Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pimpinan Jendral Edi Sudradjat meraih 4 kursi.
d.
Penyelesaian Masalah Timor Timur
Habibie
mengambil sikap pro aktif dengan menawarkan dua pilihan yaitu memberikan status
khusus dengan otonomi luas atau memisahkan diri dari RI. Otonomi luas berarti diberikan kewenangan atas berbagai
bidang seperti : politik ekonomi budaya dan lain-lain kecuali dalam hubungan
luar negeri, pertahanan dan keamanan serta moneter dan fiskal. Sedangkan
memisahkan diri berarti secara demokratis dan konstitusional serta secara
terhorman dan damai lepas dari NKRI, Habibie membebaskan tahanan politik
Timor-Timur, seperti Xanana Gusmao dan Ramos Horta.
Pada tanggal 21
April 1999 di Dili, kelompok pro kemerdekaan dan pro intergrasi menandatangani
kesepakatan damai yang disaksikan oleh Panglima TNI Wiranto, Wakil Ketua Komnas
HAM Djoko Soegianto dan Uskup Baucau
Mgr. Basilio do Nascimento. Tanggal 5 Mei 1999 di New York Menlu Ali Alatas dan
Menlu Portugal Jaime Gama disaksikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani
kesepakan melaksanakan penentuan pendapat di Timor-Timur untuk mengetahui sikap
rakyat Timor-Timur dalam memilih kedua opsi di atas. Tanggal 30 Agustus 1999
pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur, hasilnya diumumkan pada tanggal
4 September 1999 yang menyebutkan bahwa sekitar 78,5 % rakyat Timor-Timur
memilih merdeka. Lepasnya Timor-Timur dari NKRI berdampak pada daerah lain yang
juga ingin melepaskan diri dari NKRI seperti tuntutan dari GAM di Aceh dan OPM
di Irian Jaya, selain itu Pemerintah RI harus menanggung gelombang pengungsi
Timor-Timur yang pro Indonesia di daerah perbatasan yaitu di Atambua.
e.
Pengusutan
Kekayaan Soeharto dan Kroni-kroninya
Presiden
Habibie dengan Instruksi Presiden No. 30 / 1998 tanggal 2 Desember 1998 telah
mengintruksikan Jaksa Agung Baru, Andi Ghalib segera mengambil tindakan hukum
memeriksa Mantan Presiden Soeharto yang diduga telah melakukan praktik KKN. Pada
tanggal 11 Oktober 1999, pejabat Jaksa Agung Ismudjoko mengeluarkan SP3, yang
menyatakan bahwa penyidikan terhadap Soeharto yang berkaitan dengan masalah
dana yayasan dihentikan. Alasannya, Kejagung tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan
penyidikan, kecuali menemukan bukti-bukti baru. Sedangkan dengan kasus lainnya
tidak ada kejelasan. Pemerintah dianggap gagal dalam melaksanakan Tap MPR No.
XI / MPR / 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, terutama mengenai pengusutan kekayaan Mantan Presiden
Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya.
Aksi demontrasi
saat Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 Nopember 1998 mengakibatkan bentrokan
antara mahasiswa dengan aparat. Parahnya pada penutupan Sidang Istimewa MPR,
Jumat (13/11/1998) malam. Penembakan membabi-buta berlangsung sejak pukul 15.45
WIB sampai tengah malam di kawasan Semanggi, yang jaraknya hanya satu kilometer
dari tempat wakil rakyat bersidang dengan korban lima mahasiswa tewas dan 253 mahasiswa luka-luka disebut ”Semanggi
Berdarah” atau ”Tragedi Semanggi”.
f.
Pemberian Gelar
Pahlawan Reformasi bagi Korban Trisakti.
Pemberian gelar
Pahlawan Reformasi pada para mahasiswa korban Trisakti yang menuntut lengsernya
Soeharto pada tanggal 12 Mei 1998 merupakan hal positif yang dianugrahkan oleh
pemerintahan Habibie, dimana penghargaan ini mampu melegitimasi Habibie sebagai
bentuk penghormatan kepada perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor
gerakan Reformasi.
2.
Pada Bidang Ekonomi
Di dalam pemulihan ekonomi,
pemerintah berhasil menekan laju inflasi dan gejolak moneter dibanding saat awal
terjadinya krisis. Namun langkah dalam kebijakan ekonomi belum sepenuhnya
menggembirakan karena dianggap tidak mempunyai kebijakan yang kongkrit dan
sistematis seperti sektor riil belum pulih. Banyak kasus penyelewengan dana
negara dan bantuan luar negeri membuat Indonesia kehilangan momentum pemulihan
ekonomi. Tanggal 21 Agustus 1998 pemerintah membekukan operasional Bank Umum
Nasional, Bank Modern, dan Bank Dagang Nasional Indonesia. Awal tahun
selanjutnya pemerintah melikuidasi 38 bank swasta, 7 bank diambil-alih
pemerintah dan 9 bank mengikuti program rekapitulasi. Selain itu,harga beras
tetap meningkat, ditemukan penyelundupan
beras keluar negeri dan penimbunan beras.
3.
Pada Bidang Manajemen Internal ABRI
Pada masa
transisi di bawah Presiden B.J. Habibie, banyak perubahan-perubahan penting
terjadi dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran konsep dan organisatornya.
Pertimbangan
mendasar yang melatarbelakangi keputusan politik dan akademis reformasi
internal TNI, antara lain:
a.
Prediksi tantangan TNI ke depan di abad XXI begitu besar,
komplek dan multidimensional, atas dasar itu TNI harus segera menyesuaikan
diri.
b.
TNI senantiasa harus mau dan mampu mendengar serta
merespon aspirasi rakyat.
c.
TNI mengakui secara jujur, jernih dan objektif,
sebagai komponen bangsa yang lainnya,
bahwa di masa lalu ada kekurangan dan distorsi sebagai konsekuensi logis dari
format politik Orba
Kebijakan-kebijakan
ABRI sebagai langkah perubahan politik internal, yang berlaku tanggal 1 April
1999 antara lain: pemisahan POLRI dari ABRI, perubahan Staf Sosial Politik
menjadi Staf Teritorial, likuidasi Staf Karyawan, Pengurangan Fraksi ABRI di
DPR, DPRD I/II, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar dan
mengambil jarak yang sama dengan parpol yang ada, kometmen dan netralitas ABRI
dalam Pemilu dan perubahan Staf Sospol menjadi komsos serta pembubaran
Bakorstanas dan Bakorstanasda.
C. Keadaan Sosial Di Masa Habibie
Kerusuhan antar
kelompok yang sudah bermunculan sejak tahun 90-an semakin meluas dan brutal,
konflik antar kelompok sering terkait dengan agama seperti di Purworejo juni
1998 kaum muslim menyerang lima gereja, di Jember adanya perusakan terhadap
toko-toko milik cina, di Cilacap muncul kerusuhan anti cina, adanya teror ninja
bertopeng melanda Jawa Timur dari malang sampai Banyuangi. Isu santet
menghantui masyarakat kemudian di daerah-daerah yang ingin melepaskan diri
seperti Aceh dan Papua semakin keras keinginan membebaskan diri. Juli 1998 OPM
mengibarkan bendera bintang kejora sehingga mendapatkan perlawanan fisik dari
TNI.
D. Berakhirnya Masa Pemerintahan B.J.
Habibie
Legitimasi pemerintahan B.J. Habibie sangat lemah, karena
keberadaan Habibie dianggap sebagai suatu paket warisan pemerintahan Soeharto, munculnya
beberapa kolompok menuntut pembentukan pemerintahan transisi, ia tidak dipilih
secara luber dan jurdil sebagai presiden dan merupakan satu paket pemilihan
pola musyawarah mufakat dengan Soeharto.
Pemerintah
Habibie dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai
masalah Timor-Timur, dianggap tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan
DPR/MPR sebelum menawarkan opsi kedua kepada masyarakat Timor-Timur. Akhirnya
tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur
berlangsung aman dan dimenangkan oleh kelompok Pro Kemerdekaan yang berarti
Timor-Timur lepas dari wilayah NKRI. Selain itu,muncul tuntutan dari dunia
Internasional mengenai masalah pelanggaran HAM yang meminta pertanggungjawaban
militer Indonesia sebagai penanggungjawab keamanan pasca jajak pendapat. Terjadi
kasus di Aceh melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Irian Jaya lewat
Organisasi Papua Merdeka (OPM), dengan kelompok separatisnya yang menuntut
kemerdekaan dari wilayah Republik Indonesia.
Pada tanggal
1-21 Oktober 1999, MPR mengadakan Sidang Umum yang dipimpin Ketua MPR Amien
Rais, tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya di depan sidang dan terjadi penolakan terhadap
pertanggungjawaban presiden sebagai Mandataris MPR lewat Fraksi PDI-Perjuangan,
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia dan
Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa. Di luar Gedung DPR/MPR yang sedang bersidang,
mahasiswa dan rakyat yang anti Habibie bentrok dengan aparat keamanan. Mereka
menolak pertanggungjawaban Habibie, karena Habibie dianggap sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari Rezim Orba.
Pada tanggal 20
Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup Rapat Paripurna dan Presiden habibie
mengundurkan diri dari pencalonan presiden. Pengunduran Habibie dalam bursa
calon presiden, memunculkan dua calon kuat sebagai presiden, yaitu Megawati dan
Abdurrahman Wahid. Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia keempat
dan dilantik dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 untuk masa bakti 1999-2004.
Tanggal 21 Oktober 1999 Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden RI dengan
Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1999 mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid.
Terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia periode 1999-2004 menjadi akhir pemerintahan Presiden Habibie
dengan TAP MPR No. III/MPR/1999 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI B.J. Habibie.
MASA PEMERINTAHAN
ABDURRAHMAN WAHID
A.
Pemilihan
Umum Tahun 1999
Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999
menjadi sangat penting, karena diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia
yang sedang dilanda multikrisis. Pemilu tahun 1999 juga merupakan ajang pesta
rakyat Indonesia dalam menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Sifat pemilu ini
Luber Jurdil Presiden Habibie menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu
pelaksanaan pemiliahan umum. Selanjutnya lima paket undang-undang tentang
politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang
politik baru yang disahkan pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh
Presiden Habibie. Ketiga udang-udang itu antara lain undang-undang partai
politik, pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Munculnya
undang-undang politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya
kehidupan politik di Indonesia. Dengan munculnya undang-undang politik banyak parpol
bermunculan sebanyak 112. Namun hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti
pemilu. Pelaksanaan pemilu ditangani oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggotanya
terdiri dari wakil-wakil pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partai politik
peserta pemilu. Hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih suara-suara
terbanyak diantaranya PDI-P, Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai Pembangkitan
Bangsa, PAN. Pemilu berjalan dengan aman dan dapat di terima oleh suara partai
peserta pemilihan umum.
B.Sidang Umum
MPR Hasil Pemilihan Umum 1999
Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan
sejak tanggal 1 – 21 Oktober 1999. Amien Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan
Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII,
pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme
voting dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah,
sehingga Habibie tidak dapat mencalonkan diri menjadi Presiden Republik
Indonesia. Akibatnya muncul tiga calon Presiden yaitu Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza Mahendra. Namun tanggal 20
Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Dari hasil pemilihan
presiden yang dilaksanakan secara voting, Abudurrahman Wahid terpilih menjadi
Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 2 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan Wakil
Presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil
Presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada
tanggal 25 Oktober 1999 Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati
Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
C. Masa
Kepresidenan.
1. Tahun 1999
Kabinet pertama Gus Dur, Kabinet Persatuan Nasional, adalah kabinet koalisi yang
meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB, Golkar, PPP, PAN, Partai
Keadilan (PK), non-partisan dan TNI. Wahid kemudian mulai melakukan dua
reformasi pemerintahan. Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen
Penerangan, senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua
adalah membubarkan Departemen Sosial yang korup. Setelah satu bulan berada
dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator Pengentasan
Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan
November. Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya diakibatkan karena Gus Dur
menuduh beberapa anggota kabinet melakukan korupsi selama ia masih berada di
Amerika Serikat. Dugaan lain,diakibatkan karena ketidaksenangannya atas
pendekatan Gus Dur dengan Israel. Rencana Gus Dur adalah memberikan Aceh
referendum. Namun referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan
seperti referendum Timor Timur. Gus Dur ingin mengadopsi pendekatan yang lebih
lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri
Serambi Mekkah. Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi
Irian Jaya. Selama kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan
pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
2. Negara_negara yang pernah dikunjungi Gus Dur
selama menjadi Presiden.
Waktu
|
Negara yang dikunjungi Gus Dur
|
November 1999
|
negara
anggota ASEAN, Jepang, Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, dan Yordania
|
Desember 1999
|
Republik
Rakyat Cina
|
Januari 2000
|
Perjalanan ke
Swiss untuk menghadiri Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi Arab Saudi dalam
perjalanan pulang menuju Indonesia.
|
Februari 2000
|
Mengunjungi
Inggris, Perancis, Belanda, Jerman Italia,India, Korea Selatan, Thailand, dan
Brunei Darussalam
|
Maret2000
|
Mengunjungi
Timor Leste.
|
April 2000
|
Mengunjungi
Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri pertemuan G-77,
sebelum kembali melewati Kota Meksiko dan Hong Kong.
|
Juni 2000
|
Mengunjungi
Amerika, Jepang, dan Perancis dengan Iran, Pakistan, dan Mesir.
|
Ketika Gus Dur
berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jendral Wiranto
mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.
Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan
juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto. Ketika Gus
Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Gus
Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan
memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara
Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN Laksamana
Sukardi. Alasannya karena keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus
Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat. Hal ini memperburuk hubungan Gus
Dur dengan Golkar dan PDI-P. Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai
melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan kemudian,
pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001,
saat kedua penandatangan akan melanggar persetujuan. Gus Dur juga mengusulkan
agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut dan
berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok
Muslim Indonesia. Gus Dur dan menteri luar negerinya Alwi Shihab menentang
penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta agar Awad,
duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti. Dalam usaha mereformasi militer
dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur menemukan sekutu,
yaitu Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi Panglima Kostrad pada
bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan Dharma
Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati, anggota
TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti tekanan
tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.
Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur kembali
harus menurut pada tekanan. Hubungan Gus Dur dengan TNI semakin memburuk ketika
Laskar Jihad tiba di Maluku dan dipersenjatai oleh TNI.
Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu
skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG)
melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit
pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk
mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya
terlibat dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate.
Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu
merupakan sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur
gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal
Bruneigate
Pada Sidang
Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh mayoritas anggota MPR. Selama pidato,
Wahid menyadari kelemahannya sebagai pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan
sebagian tugas. Anggota MPR setuju dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas
tersebut. Pada awalnya MPR berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR,
akan tetapi Keputusan Presiden dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur
mengumumkan kabinet baru meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati
menunjukan ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet.
Kabinet baru lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat
anggota Golkar dalam kabinet baru Gus Dur. Pada September, Gus Dur menyatakan
darurat militer di Maluku karena kondisi di sana semakin memburuk. Pada saat
itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh anggota TNI dan juga
kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan terakhir Soeharto.
Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di Papua Barat. Gus Dur
memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan berada di bawah
bendera Indonesia. Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24
Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta dan
delapan kota lainnya di seluruh Indonesia. Pada akhir tahun 2000, terdapat
banyak elit politik yang kecewa dengan Abdurrahman Wahid Orang yang. paling
menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Amien juga berusaha mengumpulkan oposisi
dengan meyakinkan Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik mereka.
Megawati melindungi Gus Dur, sementara Akbar menunggu pemilihan umum legislatif
tahun 2004. Pada akhir November. 151 DPR menandatangani petisi yang meminta
pemakzulan Gus Dur.
3. Tahun 2001
dan akhir kekuasaan Pada Januari 2001,
Gus Dur
mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan
ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur mengunjungi
Afrika Utara dan Arab Saudi untuk naik
haji. Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan terakhirnya ke Australia. Pada
pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001,Gus Dur
menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Dia mengusulkan
pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Pertempuan tersebut menambah gerakan
anti-Wahid.
Pada 1
Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut
berisi diadakannya Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat
dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini
juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan
protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun
menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk
berbicara dengan demonstran di Pasuruan. Namun, demonstran NU terus menunjukan
dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka
siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati.
Pada
bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada
kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra
dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.
Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi
dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak
dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam
aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga
jarak dan tidak hadir dalam inagurasi penggantian menteri.
Pada 30 April,
DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1
Agustus. Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik,
Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk
menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya
dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada
tanggal 1 Juli 2001. Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang
Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di
Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai
bentuk penunjukan kekuatan.
Gus Dur mengumumkan pemberlakuan dekrit yang
berisi:
(1) pembubaran
MPR/DPR,
(2)
mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu
satu tahun.
(3) membekukan
Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR.
Namun dekrit tersebut tidak memperoleh
dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan
menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Abdurrahman Wahid terus
bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama
beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat
karena masalah kesehatan.
D.Kelebihan
kekurangan pemeritahan Abdurrahman Wahid
1. Kelebihan sistem Pemerintahan Abdurrahman
Wahid
a) Sukses melakukan kesepahaman dengan GAM.
b) Sukses membawa Indonesia ke Forum Ekonomi
Dunia.
c) Sukses melaksanakan persamaan hak menyatakan
pendapat di muka umum
d) Etnis
Tioghoa yang berpuluh-puluh tahun dikekang diberikan kebebasan sama seperti
orang pribumi.
e) Jadwal ketat
kunjungan ke luar negeri menghasilkan banyak mitra luar negeri. Di bulan April,
Wahid mengunjungi Afrika Selatan dalam perjalanan menuju Kuba untuk menghadiri
pertemuan G-77.
f) Sukses
menggulingkan unsur-unsur sentrakistis dan hierarkis yang represif (menindas)semasa
pemerintahan Soeharto.
g)
Sukses mengurangi dukungan bagi kaum separatis GAM di Aceh.
2. Kekurangan
Sistem Pemerintahan Abdurrahman Wahid
a) Semaraknya
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
b) Munculnya
berbegai reaksi negatif dari rakyat atas usul Presiden Abdurrahman Wahid
mengenai pembatalan Ketetapan MPRS Tahun 1966 mengenai pelarangan ajaran
Marxisme-Leninisme.
c) Kesulitan
ekonomi semakin meluas.
d) Kerusuhan
antaretnis terus berlanjut yaitu pembunuhan antara umat Islam dan Kristen di
Maluku yang menewaskan lebih dari seribu orang sepanjang tahun 1999.
e) Di Aceh,
kekerasan antarkaum separatis dan aparat keamanan terus terjadi.
f) Pemecatan
terhadap beberapa menteri yang memunculkan berbagai pro dan kontra di
masyarakat.
g) Berusaha
membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim
Indonesia.
h)
Muncul dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate.
thanks mbak. smoga sukses
BalasHapusMKSH
BalasHapus